Keutamaan Shalat Berjamaah di Awal Waktu
Kaos Distro – “As-Shalatu ‘ala waktiha (shalat di awal waktu) secara berjamaah disebut sebagai amalan yang paling utama. Bahkan, menurut riwayat Ibnu Mas’ud, keutamaannya melebihi jihad dan berbakti kepada orang tua (HR Bukhari Muslim). Riwayat lain juga menyebutkan, Rasulullah mewajibkan surga sebagai tempat kembali orang-orang yang memelihara shalat berjamaah. (HR Ahmad).
Tentu, merupakan kerugian besar bagi mereka yang melewatkan kesempatan shalat berjamaah. Namun, ada kalanya seseorang mempunyai uzur yang menghalanginya untuk menunaikan shalat berjamaah. Misalkan orang sakit, lansia yang sudah lemah, hujan lebat, dan sebagainya. Namun, apakah boleh meninggalkan shalat berjamaah karena sibuk dengan pekerjaan?
Sebelum masuk ke ranah ini, perlu dikaji dulu hukum asal dari menunaikan shalat berjamaah itu sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiri di masjid. Mayoritas ulama memandang wajib, sedangkan sebagian kalangan lagi mengatakan sunah.
Ulama yang mewajibkan shalat berjamaah punya landasan dalil yang sangat kuat, baik dari kitab (Alquran) maupun hadis Nabi. Sebagaimana perintah shalat dalam Alquran, “Dan dirikanlah shalat, dan tunaikan zakat. Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah [2]: 43). Perintah untuk rukuk bersama orang-orang yang rukuk dimaknai dengan menghadiri shalat berjamaah.
Karena kata warka’u (rukuklah) dalam ayat ini merupakan fi’lul amri (kata kerja perintah), hukum menghadiri shalat berjamaah menjadi wajib. Berdalil dari kaidah fikih Al-Aslu fil amri lil wujub (Asal dari fi’lul amri mengindikasikan wajib untuk dilaksanakan).
“As-Shalatu ‘ala waktiha (shalat di awal waktu) secara berjamaah disebut sebagai amalan yang paling utama. Bahkan, menurut riwayat Ibnu Mas’ud, keutamaannya melebihi jihad dan berbakti kepada orang tua (HR Bukhari Muslim). Riwayat lain juga menyebutkan, Rasulullah mewajibkan surga sebagai tempat kembali orang-orang yang memelihara shalat berjamaah. (HR Ahmad).
Tentu, merupakan kerugian besar bagi mereka yang melewatkan kesempatan shalat berjamaah. Namun, ada kalanya seseorang mempunyai uzur yang menghalanginya untuk menunaikan shalat berjamaah. Misalkan orang sakit, lansia yang sudah lemah, hujan lebat, dan sebagainya. Namun, apakah boleh meninggalkan shalat berjamaah karena sibuk dengan pekerjaan?
Sebelum masuk ke ranah ini, perlu dikaji dulu hukum asal dari menunaikan shalat berjamaah itu sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiri di masjid. Mayoritas ulama memandang wajib, sedangkan sebagian kalangan lagi mengatakan sunah.
Ulama yang mewajibkan shalat berjamaah punya landasan dalil yang sangat kuat, baik dari kitab (Alquran) maupun hadis Nabi. Sebagaimana perintah shalat dalam Alquran, “Dan dirikanlah shalat, dan tunaikan zakat. Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah [2]: 43). Perintah untuk rukuk bersama orang-orang yang rukuk dimaknai dengan menghadiri.
Kata La shalata yang terdapat dalam dua hadis ini dimaknai dua hal. Pertama, tidak sah. Sebagaimana lafaz asli hadis, kata la dalam bahasa Arab berarti tidak. Artinya, shalatnya tidak dianggap atau tidak sah. Sedangkan, kalangan fuqaha lainnya lebih menafsirkan tidak sempurna. Artinya, shalat sendiri yang dilakukan tetap sah, tapi tidak sempurna.
Di samping dalil dari kitab dan sunah tersebut, sudah mentradisi pada zaman para Nabi SAW dan salafus saleh untuk selalu memelihara shalat berjamaah, sesibuk apa pun aktivitas mereka. Mereka memahami pelaksanaan shalat harus dilakukan berjamaah. Orang yang tak mau menghadiri shalat berjamaah pada zaman Nabi dipandang buruk, bahkan erat kaitannya dengan akhlak orang munafik.
Nabi SAW tak memberikan dispensasi kepada para sahabatnya untuk tidak datang ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Sebagaimana salah seorang sahabat, Abdullah bin Ummi Maktum, yang buta dan sudah lansia meminta izin untuk tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah menolak memberikan izin kepadanya. Ibnu Munzir mengatakan, “Orang buta sekalipun tetap wajib shalat berjamaah (ke masjid) walau rumah mereka jauh dari masjid.”
Walau banyak kecaman kepada mereka yang tak mau shalat berjamaah ke masjid, sebagian fuqaha memandang shalat yang dilakukan sendiri tetap sah selama rukun dan syaratnya terpenuhi sempurna. Ada pula yang memandang, shalat berjamaah ke masjid adalah sunah, tidak wajib. Namun, pendapat ini banyak menuai bantahan dari kalangan ulama.
Hal ini mengingat sangat banyaknya kecaman bagi mereka yang tak menunaikan shalat pada awal waktu secara berjamaah. Misalkan, penafsiran ayat Alquran, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS al-Ma’uun [107]: 4-5). Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat ini dengan perangai orang yang suka mengulur-ulur waktu shalat. Demikian disebut Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari dalam Jami al Bayan fi Ta’wil Alquran (24/631).
Riwayat lain juga menyebutkan, Rasulullah SAW suatu kali pernah berkeinginan akan membakar rumah-rumah orang yang tak mau menghadiri shalat berjamaah di masjid (HR Bukhari). Mengingat kerasnya ancaman dari dalil-dalil tersebut, bisa saja dikaitkan dengan keabsahan dari shalat itu sendiri.
Lantas, bagaimana dengan kondisi seseorang yang mengalami masyaqqah (kesulitan) untuk menunaikan shalat berjamaah di awal waktu? Misalkan karena urusan pekerjaan yang benar-benar tak bisa ditinggalkan. Walaupun pekerjaan tersebut adalah urusan duniawi, bisa menimbulkan mudharat jika meninggalkannya. Apakah dengan alasan ini boleh meninggalkan shalat berjamaah dan mengakhirkan shalat?
Para fuqaha mengqiyaskan masyaqqah (kesulitan) dalam hal ini dengan rukhsah (keringanan) bagi musafir. Seorang yang dalam perjalanan mungkin saja mendapati masyaqqah dalam perjalanannya. Misalkan, ia berada dalam bus, kereta, atau pesawat yang tengah berjalan. Bagaimanakah ia akan berhenti untuk menunaikan ?
Masyaqqah ini juga bisa diqiyaskan dengan urusan-urusan yang tak bisa ditinggalkan. Misalkan, seorang pelajar yang tengah menghadapi ujian kelulusannya. Jika ia meminta izin atau keluar ruangan untuk melaksanakan shalat berjamaah, ia terancam tidak lulus. Demikian juga urusan-urusan pekerjaan yang bisa menimbulkan mudharat jika ditinggalkan.
Dalam kondisi seperti ini, para fuqaha berdalil dengan hadis Nabi SAW dari Abdullah bin Fadhaalah, dari ayahnya, ia mengisahkan, “Rasulullah SAW mengajarkan saya. Di antara yang pernah dia ajarkan adalah, jagalah shalat yang lima waktu. Aku bertanya, aku memiliki waktu-waktu yang begitu sibuk, perintahkanlah kepadaku dengan suatu perbuatan yang jika aku lakukan perbuatan itu, aku tetap mendapatkan pahala yang cukup. Beliau SAW bersabda, jagalah shalat al ‘ashrain.” (HR Abu Daud, Hakim, Baihaqi, dan Thabarani).
Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam az-Zahabi, dan al-Bani menyahihkan hadis ini. Maksud dari al ‘Ashrain adalah shalat sebelum terbit matahari (shalat Subuh) dan shalat sebelum tenggelam matahari (shalat Ashar). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, dua shalat yang disebutkan (Subuh dan Ashar) tersebut tetap harus dijaga secara berjamaah. Adapun shalat yang lain diberikan rukhsah jika bertemu dengan masyaqqah.
Al-Bani menegaskan, rukhsah tersebut diberikan hanya jika ada masyaqqah. Namun, jika tak memiliki halangan apa-apa, orang tersebut kembali diwajibkan untuk shalat ke masjid. Demikian diterangkan dalam Silsilah Ash-Shahihah Nomor 1813.
Bahkan, menurut Ibnu Abbas RA, jika memang ada masyaqqah yang cukup berat, jangankan menunda shalat atau absen dari shalat berjamaah, menjamak dan mengqashar shalat pun diperbolehkan. Jamak dan qashar shalat tidak hanya diperuntukkan bagi musafir saja, tetapi bagi mereka yang punya masyaqqah yang sama atau lebih berat dari musafir, mereka pun diperbolehkan menjamak dan mengqashar shalat.
Masyaqqah tersebut seperti menuntut ilmu, sakit, takut terhadap orang kafir, hujan, cuaca panas dan dingin yang ekstrem, bencana alam, atau pekerjaan yang tidak dimungkin ditinggalkan karena akan menimbulkan mudharat. Misalkan, dokter yang sedang membedah pasien, bidan yang tengah menangani persalinan, penjaga pintu kereta, dan penjaga keamanan negara. Namun, selama bisa dicarikan solusinya, mengapa tidak memilih untuk menunaikan Wallahu’alam